Sosok itu Dia
Seharusnya
pagi ini bukan pagi yang spesial, sama
seperti pagi yang selalu aku lalui setiap hari. Duduk berhadapan di angkot
langganan yang cepat tiada tanding ditambah bercengkrama bersamanya membuat
jarak 18 km itu terasa dekat. Tak peduli siapa yang naik dan turun silih
berganti yang aku tahu aku sedang berbicara dengannya. Kini berangkat sekolah
itu jadi hal yang menyenangkan. Mungkin karena ada dia teman musholaku.
“Ngobrol sama kamu tuh
seru ya Adnin.”, katanya kepadaku.
“Memang seseru apa Dan?”,
jawabku tersenyum.
“Kamu
itu dewasa. Aku suka kamu bikin tenang.”, tambahnya.
Aku hanya tersenyum malu menjawab ucapannya.
Tak tau mengapa ucapannya membuat aku senang. Obrolan kamipun melebar
kemana-mana sampai dia bercerita tentang persiapannya untuk pindah sekolah ke Bandung.
Dia kini tinggal bersama orang tuanya di sana. Tidak tinggal bersama neneknya
lagi di sini.
Angkot
berhenti tepat di gerbang sekolah. Bunyi
bel tanda jam pertama belajar akan segera dimulai iringi langkah kakiku menuju
kelas. Sama seperti siswa lain yang baru
sampai di sekolah, ku langkahkan kaki ini dengan sesegera mungkin. Berharap
tidak mengulangi kebiasaan dulu yang memalukan. Aku yakin jika aku menaiki angkot
langgananku aku terbebas dari bahaya kesiangan yang memalukan itu.
Selain Bahasa Inggris, pelajaran PAI
adalah pelajaran favoritku. Jam pertama hari ini pun adalah PAI. Pelajaran PAI
ini aku sangat ampuh untuk menetralisir pelajaran yang berhubungan dengan
banyak angka ya seperti kimia. Kesukaanku terhadap pelajaran ini bertambah
ketika aku mengenal Bu Nuri. Aku sering dibuat takjub olehnya jika sedang
menceritakan tentang indahnya Islam.
Ibu
Nuriyah atau yang sering anak-anak bilang bu Nuri adalah salah satu guru yang
dikagumi di sekolah. Cantik, ramah, cerdas adalah gambaran dari sosok mungil
beliau. Beliau itu terbuka dan ramah kepada siapapun. Aku paling ingat tentang penjelasan
beliau yang satu ini. Topiknya adalah
cinta. Islam memandang cinta seperti iman, karena mencintai adalah bagian dari
sifat orang yang beriman dan mencintai seseorang karena ketaqwaan kita pada
Allah adalah sebenar-benarnya cinta, disinilah letaknya kebahagiaan dalam
cinta. Itu kutipan ibu Nuri yang selalu terpatri di memoriku ini.
Satu
pesan singkat aku terima dari teman musholaku itu. Isinya seperti biasa
sepulang sekolah dia menungguku dan angkot langganan di depan sekolahnya.
Itulah kebiasaan yang mulai muncul ketika kita masuk SMA. Berangkat dan pulang
sekolah bareng dengan mobil langganan. Walaupun berbeda sekolah tapi bukan jadi
halangan berarti.
Ada
yang berkata tak akan ada habisnya jika bicara tentang cinta. Semuanya penuh
dengan tanda tanya. Mereka berkata tidak tahu arti cinta itu. Mereka tidak tahu
bahwa cinta bisa datang kepada siapa saja, kapan saja atau di mana saja. Mereka
juga berkata tidak tahu bagaimana dan mengapa cinta itu bisa datang. Tapi aku
tahu jawaban dari semua pertanyaan itu. Dan semuanya bisa terjawab oleh hati
yang jujur ini.
***
Berkumandangnya
adzan Magrib, menyebar ke penjuru langit Sore. Insan muslim diseru tuk bersujud
kepada Rabb semesta alam. Hujan pun tak menghalangi semangat anak-anak mushola
untuk pergi meramaikan rumah Allah ini. Walaupun tak ada yang lain hanya aku,
dia teman musholaku dan beberapa anak kecil saja yang ada di mushola.
“Adnin, ini betul aku yang jadi imam?”,
liriknya padaku yang ada di barisan ma’mum.
“Ya memang siapa lagi?
Harus aku? Kamu kan pria satu-satunya”, jawabku.
“Kamu ganti aku sajalah
aku tidak bisa”, ucapnya sambil membetulkan pecinya.
“Loh? Tenang ini kan
awal buat kamu. Kalau sudah punya keluarga harus bisa jadi imam yang baik kan?
Ayolah nanti waktu magribnya habis gara-gara kelamaan.”
Aku tahu ini menjadi
pertama kalinya dia menjadi imam. Pak Haji yang biasanya menjadi imam
berhalangan hadir karena sedang melaksanakan umroh.Terlihat jelas di raut
wajahnya bahwa dia gugup. Badannya sedikit gemetar ketika akan memulai sholat.
Awalnya memang agak sedikit ragu dengan menghela nafas panjang dia ucapkan
takbir. Dan kukhusukan pikiran kepada Sang Maha Kuasa.
Kebiasaan
pergi ke mushola itu telah ditanamkan orang tuaku sejak kecil. Dan kebiasaan
ini pun berlangsung sampai sekarang. Berkat kebiasaan ini aku mengenal sosoknya yang begitu luar
biasa di mataku. Aku telah mengenalnya sejak duduk dibangku kelas IV SD.
Denting
jam berlalu begitu cepat. Tak terasa 2 tahun sudah aku berangkat dan pulang
sekolah sendiri. Tak ada obrolan seru lagi di angkot langganan. Tak ada lagi
yang menungguku di depan SMK. Tak terlihat lagi sosok imam yang nervous di mushola. Tak lagi aku melihat sosoknya. Semuanya hampa
tanpa sosok itu. Semuanya hilang dari pandangan mata.
Aku
berusaha mencari informasi tentangnya. Aku tak mau terus larut dalam rasa
rindu. Aku tak bisa menghubungi ponselnya. Kulihat akun jejaring sosialnya.
Entah apa maksud tulisan-tulisan yang dia share
di sana. “You make me down and down”
satu tahun lalu tulisan itu muncul. God,
it’s not fair. Why? You give this bitter tes? Why did you take all my parents?
tulisnya.
Rasa
khawatirku tak terbendung lagi. Aku ingin tahu bagaimana kabarnya sekarang. Apa
yang telah terjadi padanya? Apakah dia baik-baik saja? Apa maksud dari
tulisan-tulisan itu? Pikiranku penuh dengan beribu tanya tentangnya.
***
Bandung…
Tengah
hari ini, kota Bandung seakan membara. Matahari berpijar di tengah langit.
Seumpama lidah api yang menjulur dan menjilat-jilat bumi. Tanah seakan
menguapkan bau neraka. Hembusan angin sejuk tak terasa lagi. Gedung-gedung
tinggi dan keramaian binasakan semua udara sejuk itu. Memang Bandung telah
menjadi lautan api.
Aku
tak sengaja melihat seseorang di sebrang jalan sana dengan pakaian
compang-camping dan lusuh. Matanya berpendar kemana-mana mencari botol-botol
plastik di antara tumpukan-tumpukan sampah. Aku menajamkan penglihatanku,
sepertinya orang itu tak asing bagiku.
Dani!
Astagfirullah! Itukah kamu? Gembira
hati telah melihatnya lagi. Terbesit sedikit keraguan tapi tak kuhiraukan
keraguan itu. Aku memanggil namanya, namun bisingnya kendaraan halangi suara
panggilanku terhadapnya. Tak kulihat respon sedikit pun darinya. Dia masih
tetap fokus deagan botol-botol plastik yang dicarinya,
“Dani..! Dani...! Dani…!” Panggilanku semakin
keras di tengah hiruk-pikuk kota Bandung yang ramai. Dia menghentikan
aktivitasnya dan hanya menatapku dari kejauhan dengan aneh. Dia membawa semua
keranjang berisi botol plastik yang dipikulnya dan segera bergegas pergi. Pergi
dengan jawaban tentang hidupnya. Ingin raga ini mengejarnya. Tapi rangkaian
mobil yang berjajar padat hentikan langkah pertamaku untuk menyebrang jalan
sana. Ya Allah haruskah aku kehilangan dia lagi? Dani mengapa kau harus pergi?
Lalu
apa kabar hatiku ini? Mungkin bagai serpih-serpih pasir
di pantai tersapu gelombang pasang
dan harus hilang terpecah karang.
Ada tersimpan rasa perih mendera mengingatnya disaat itu.
Kini dia tampak lelah menderita. Ada apa dengan teman musholaku ini?
Iruzuka~~
0 komentar:
Posting Komentar